Berbicara tentang rokok, maka cukai akan menjadi kata pertama yang tercetus dalam benak kita. Bagaimana tidak, hanya karena kebijakan Pemerintah yang secara agresif meningkatkan tarif cukai rokok, harga saham rokok telah runtuh 62%-73% dalam 3 tahun terakhir.
Sebut saja PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP), dimana harga sahamnya telah terpeleset -73% dalam 3 tahun terakhir. PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) pun demikian, mengalami depresiasi -62% dalam 3 tahun terakhir.
Cukai memang menjadi biang kerok menurunnya kinerja saham rokok di Indonesia. Berdasarkan laporan keuangan HMSP, 68% dari total biaya cost of goods sold (COGS) atau harga pokok penjualan merupakan beban pita cukai.
GGRM malah lebih besar, dimana beban pita cukai mencapai 86% terhadap https://wowbudgethotel.com/special-offers/ total biaya COGS. Dan perlu dicatat, komponen biaya COGS merupakan 82%-89% komponen biaya terhadap penjualan bagi HMSP dan GGRM. Maka, biaya cukai jelas menjadi the main issue bagi perusahaan rokok di Indonesia, karena kehadiran cukai tentu akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan usaha di industri rokok.
Secara historis, perusahaan di industri tembakau Indonesia akan membebankan biaya cukai kepada konsumen dengan melakukan penyesuaian harga jual (Average Selling Price). Namun, jika biaya cukai naik terus menerus, harga jual rokok akan semakin mahal.
Jika harga rokok makin mahal, frekuensi kehadiran rokok ilegal yang lebih murah akan semakin marak. Dan jika itu terjadi, perusahaan rokok yang resmi akan kehilangan banyak penjualan dan “market-share”, yang berujung pada penurunan volume produksi. Jadi jelas, kenaikan cukai pada dasarnya adalah musuh utama bagi perusahaan yang bergerak di sektor rokok di Indonesia saat ini yang perlu diwaspadai oleh investor.
HMSP & GGRM : Cukai vs. Kinerja
Berbicara lebih dalam terkait HMSP, maka rasanya kurang tanpa mereview kinerja produsen A-Mild ini. Hingga kuartal III/2021, HMSP mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp73 triliun, meningkat 7.35% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Namun sayang, laba kotor HMSP tergerus 10,5% menjadi Rp 12,7 triliun. Kenaikan biaya COGS sebesar 11%, yang lagi-lagi terdampak dari kenaikan tarif cukai sebesar 12.5% pada tahun 2021. Tidak heran jika sampai di bottom-line, HMSP hanya mencatatkan laba bersih sebesar Rp5,5 triliun, turun -20% meskipun manajemen mampu mempertahankan biaya operasional lebih stabil dengan kenaikan hanya sebesar 3,6% yoy.
Ibarat pepatah sakit tapi tidak berdarah, GGRM pun mengalami penurunan laba kotor lebih dalam. Hingga kuartal III/2021, kinerja laba kotor GGRM telah tergerus 20,1%, meskipun penjualan mencatatkan kenaikan sebesar 11% menjadi Rp92 triliun. Di bottom-line sendiri, GGRM mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 26% meskipun manajemen telah mengontrol biaya operasional dengan penurunan -3,6%.
Dengan demikian, secara jelas dapat disimpulkan bahwa jika berbicara tentang sektor rokok, cukai menjadi musuh utama dan pemain di industri ini, terlepas dari apapun sentimen positif yang dapat mendorong kinerja sektor tembakau di Indonesia. Maka untuk mengukur relevansi investasi di sektor rokok terutama HMSP, tentu kita harus menginvestigasi potensi kenaikan cukai di tahun mendatang.
Baca Juga : Apa Itu Bisnis OnlyFans? Memahami Model dan Potensinya